DIMASAK-Butiran-butiran tiwul hasil campuran tepung singkong dan air dikukus minimal 15 menit agar menjadi masak. Foto diambil Sabtu (25/5). Joglosemar | Eko Sudarsono
DIMASAK-Butiran-butiran tiwul hasil campuran tepung singkong dan air dikukus minimal 15 menit agar menjadi masak. Foto diambil Sabtu (25/5). Joglosemar | Eko Sudarsono
Sebuah rumah di Dusun Saratan RT 3 RW V, Desa Sejati, Giriwoyo, Wonogiri, selalu ramai setiap Kliwon dan Pon dalam penanggalan Jawa. Antara pukul 20.00 WIB hingga 22.00 WIB, pengunjung ramai mengantre untuk menikmati nasi tiwul khas Wonogiri. Selepas jam itu, nasi tiwul sudah ludes.
Meski rumah itu sederhana, jangan remehkan pembeli yang datang. Selain pejabat dari Wonogiri, pembeli juga berasal dari Solo, Klaten, Pacitan, Sragen, dan Yogyakarta.
Nasi tiwul, hanya itu yang mereka cari. Namun, tidak hanya nasi khas Wonogiri ini yang menjadi hidangan utama. Masih ada lauk ikan asin goreng, jangan lombok, trancam, dan berbagai jenis gorengan yang menggunakan tepung juga dari tepung singkong. Semua disajikan dengan sambal bawang.
“Ini sudah generasi yang ketiga. Awalnya Mbah Buyut dulu jual gorengan ke pasar. Lama-lama banyak pembeli dan jualan di rumah saja. Lalu ibu saya (Mbah Sembleng) meneruskan dan di tahun 1991 mulai menjual nasi tiwul. Gorengan tetap ada,” jelas Tukimin, penerus Mbah Sembleng.
Satu porsi dengan lauk lengkap bisa dinikmati dengan harga Rp 20.000. Bupati Pacitan saat ini, Indartato, saat menjelang Pilkada lalu sering datang ke tempat itu untuk membahas persiapan maju sebagai bupati. “Kalau sudah begitu, dia bisa bawa seratus orang ke sini dan rembukan soal Pilkada. Pejabat Wonogiri juga sering ke sini,” kata dia.
Uniknya, nasi tiwul ini tak bisa dinikmati setiap hari. Pasalnya hanya Kliwon dan Pon saja Tukimin berjualan. Selain hanya buka di hari tertentu, jangan datang sebelum pukul 15.00 WIB karena belum semua lauk akan matang. “Setiap buka sehari bisa habis sekitar 30 kilogram tepung, saat Lebaran bisa mencapai lebih dari itu. Dan semua nasi pasti habis. Yang tidak suka nasi tiwul ada nasi putih juga,” lanjut dia.
Cara memasak tiwul ini pun masih tradisional. Bukannya menggunakan kompor gas, nasi dimasak di atas tungku dengan bahan bakar kayu. Tukimin mengatakan, nyala api dari gas suhunya kurang tinggi, selain itu rasa masakan akan lebih enak jika dimasak dengan bara kayu.
Sore itu, seorang pembeli dari Solo dengan sabar menunggu matangnya nasi tiwul.
“Sering ke sini setiap buka. Tiwulnya khas, suka yang dicampur nasi putih. Dimakan dengan ikan asin lebih enak. Gorengan gendar dan tempenya juga khas karena tepung terigu yang dipakai,” kata Darno, yang telah menunggu sejak siang. Eko Sudarsono